Dampak Dan Akibat Bencana Wasior

Kita sebagai rakyat Indonesia kembali berduka atas bencana banjir yang melanda Wasior, Papua Barat yang merenggut nyawa seratus orang lebih dan ratusan lainnya mengalami luka-luka dan masih banyak korban yang belum ditemukan.

Disini kita tidak bisa menyalahkan Tuhan. Dengan adanya musibah yang terjadi adalah akibat peringatan alam yang berada dalam kendali dan kuasa-Nya. Tuhan telah menyediakan alam dan rasionalitas manusia untuk memanfaatkan alam sebagai rahmat dan faedah untuk dirinya.

Namun, terkadang manusia lupa, tamak, dan serakah. Alam dieksploitasi sesuka hati kita. Tanpa ingat akan fungsi dari SDA yang kita eksploitasi. Tak dapat dipungkiri bencana alam Wasior yang menyebabkan air mata. Musibah atas korban nyawa yang tak terkira itu dikarenakan adanya eksploitasi hutan yang tak terkira juga.

Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) menilai banjir bandang di kota Wasior akibat kerusakan hutan di kawasan Kabupaten Teluk Wondama. Manager Desk Bencana Eksekutif Walhi Irhash Ahmady mengatakan Walhi memperkirakan sekitar 30-40 persen hutan di kawasan Hutan Suaka Alam Gunung Wondiboi dan kawasan Taman Nasional Laut Teruk Cenderawasih mengalami alih fungsi. Akibatnya, Kali Angris dan Kali Kiot meluap dan membawa bencana bagi Wasior.

Paradigma manusia terhadap hutan serta keekologian saat ini tidak lagi dilihat sebagai entitas kehidupan. Akan tetapi hutan saat ini dilihat sebagai modal (kapital). Maka kepenguasaan atasnya adalah semata dikontrol oleh hukum-hukum materialistis yang berujung keuntungan materi pula.

Akibatnya hutan semata dilihat sebagai sumber uang, sumber investasi, dan keuntungan (profit). Beda halnya apabila hutan dilihat sebagai entitas kehidupan. Karena, dengan paradigma demikian hutan dimanfaatkan secara etik dan secara moralistik. Karena, hutan menyimpan kehidupan manusia dan makhluk-makhluk lain secara holistik. Karena, hutan menyimpan kunci mata rantai keseimbangan kehidupan biotik.

Konsekuensinya perlakukan terhadap hutan pun cenderung pada perspektif hukum pasar. Hutan tidak lagi dilihat sebagai habitat makhluk hidup termasuk manusia. Melihat hutan dengan paradigma kehidupan akan mendorong manusia bertindak konstan. Dan, perlakuan sikap dari itu adalah memanfaatkan hutan sambil memikirkan dan bertindak untuk mengontrol akibat-akibatnya.

Bencana banjir yang menelan nyawa manusia yang sangat banyak di Wasior disebabkan karena sempitnya cara pandang masyarakat terhadap hutan dan pemanfaatannya dengan cara-cara yang tidak etik. Ujung-ujungnya paradigma yang demikian justru menjadi musibahkan pada manusia itu sendiri.

Saat ini menyerahkan kontrol keseimbangan ekologi kepada pemerintah saja tidak cukup. Karena, maraknya illegal logging oleh para cukong, baik dalam maupun luar negeri, membuka peluang pasar gelap penebangan hutan yang melibatkan kong-kalikong pemerintah dengan para cukong itu.

Kalau diibaratkan alih fungsi hutan dan penebangan liar hutan merupakan “lingkaran setan” yang membutuhkan kerja kolektif untuk melindungi hutan dari kelestariannya. Oleh sebab itu dibutuhkan keterlibatan masyarakat dalam memainkan peran kontrol terhadap masa depan keseimbangan ekologi.

0 komentar:

Posting Komentar

Sponsors

Ardytia Hadyan's Blogs © 2008. Blog design by Randomness